الحَمْدُ
للهِ الّذِي خَلَقَ الخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ، وَأَمْرُهُمْ بِتَوْحِيْدِهِ
وَطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَكْمَلُ الخَلْقِ
عُبُودِيَّةً للهِ، وَأَعْظَمَهُمْ طَاعَةً لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ. اَمَّا بَعْدُ،
فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ
إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ
الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Bila ditanya, apa hal yang yang
paling penting dalam Islam? Jawabannya adalah iman. Iman merupakan sendi paling
fundamental seseorang untuk disebut Muslim. Tanpanya ia bukan apa-apa, seperti
bangunan gedung tanpa fondasi.
Secara umum para ulama Ahlussunnah
wal Jama’ah mendefinisikan iman sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga unsur,
yakni at-tashdîqu bil qalbi atau membenarkan dengan hati, at-taqrîr
bil lisâni mengikrarkan dengan lisan, lalu al-‘amalu bil arkân atau
mengamalkan dengan anggota badan.
Saat seseorang menyatakan iman
kepada Allah misalnya, maka ia tidak hanya meyakini dalam hati tanpa keraguan,
tapi juga berikrar secara ucapan dan menajalankan segenap perintah dan
laranganan-Nya sebagai pengejawantahan atas keimanan tersebut. Artinya, iman
merupakan kesatuan antara hati, perkataan, dan perbuatan.
Suatu hari ada seorang sahabat yang
bertanya kepada Nabi:
أَخْبِرْنِي
عَنْ الْإِيمَانِ ، قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Kabarkan kepadaku (wahai
Rasulullah) apa itu iman?” Nabi ﷺ menjawab, “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, serta
takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR Tirmidzi)
Dari hadits inilah kita kemudian
mengenal enam rukun iman, pilar-pilar keyakinan yang tidak boleh kita
tinggalkan. Manusia dituntut untuk memegang teguh iman terhadap enam hal ini
sampai akhir hayat. Lepas satu salah satu dari enam rukun ini dari aqidah kita
menyebabkan kita terjerumus dalam lubang kekufuran.
‘Ibadallâh,
Namun demikian, setelah mengimani
enam rukun iman kita ini lantas semuanya akan aman-aman saja. Sebab iman
sejatinya sangat luas, menyangkut segenap aspek kehidupan manusia, termasuk
kehidupan bermasyarakat. Karena itulah kita sering dapati beberapa sikap yang
sangat dianjurkan Islam dikaitkan dengan kesempurnaan iman.
لَا
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah (sempurna) iman seseorang
hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Dalam isu yang lain, Rasulullah
bersabda:
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ،
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
جَائِزَتَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka seyogianya ia berkata yang baik atau hendaknya diam;
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka seyogianya dia memuliakan
tetangganya; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
seyogianya dia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Penjelasan ini menunjukkan bahwa
iman tidak serta merta bisa dilepaskan begitu saja dari perbuatan keseharian
kita. Bagaimana kita bersikap dan bergaul sehari-hari adalah penanda sejauh
mana kualitas iman dalam diri kita. Dengan bahasa lain, akhlak kita kepada
Allah sangat terkait dengan akhlak kepada makhluk-makhluk-Nya. Secara vertikal
kita menjalin hubungan baik kepada Allah, secara horizontal kita pun melakukan
hal yang sama kepada manusia, binatang, dan alam di sekitar kita.
Kala seseorang berkata kasar kepada
sesama, misalnya, kendati sebelumnya mengaku sangat beriman, sejatinya ia
mengalami penurunan kadar keimanan. Hal serupa juga terjadi ketika kita gemar
membuka aib orang lain, menghujat, dengki, dan lain sebagainya. Yang
mengkhawatirkan dari peristiwa perununan iman ini adalah prosesnya yang sering
tidak disadari oleh pelakunya.
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Satu catatan lagi yang tak kalah
penting adalah iman tak selalu statis, stagnan, ajeg. Ketika kita mengimani
rukun enam, tidak berarti perkara sudah selesai. Tak sedikit kasus orang yang
ahli ibadah harus berakhir dengan buruk di akhir hayatnya (sû’ul khatimah),
sebagaimana tak kurang-kurang orang yang semula berlumuran dosa di kemudian
hari mencicipi kebahagiaan lantaran pertobatan yang sungguh-sungguh. Artinya,
iman bersifat dinamis, fluktuatif, bisa naik bisa turun, bisa bertambah bisa
berkurang.
Seorang sahabat pernah menimba
pelajaran berharga dari Nabi:
قُلْ لِي
فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ ؟ قَالَ قُلْ
آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
“Ajarkanlah kepadaku (wahai
Rasulullah) suatu ucapan di dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan kepada
seorang pun selain dirimu. Beliau menjawab, Katakanlah, ‘Aku beriman kepada
Allah, kemudian istiqamah-lah’.” (HR. Muslim)
Perintah Rasulullah untuk
beristiqamah mengindikasikan bahwa iman sesungguhnya tidak stabil. Iman bisa
meningkat juga bisa menurun. Suatu kali seseorang sangat beriman, kemudian agak
beriman, lalu bahkan tidak beriman sama sekali. Di kemudian hari, iman itu
kembali menguat, bertambah kuat, lalu turun lagi, dan seterusnya. Sehingga
beristiqamah bukanlah perintah yang ringan. Rasulullah menghendaki keimanan
yang teguh tapi juga konsisten. Dikatakan berat karena istiqamah mengandalkan
kemauan yang kuat, dan secara serius mengatasi hambatan-hambatan yang ada terutama
yang muncul dari diri sendiri. Selain ikhtiar dari diri sendiri, yang perlu
kita ingat pula bahwa iman pada hakikatnya anugerah Allah subhânahu wata‘âlâ.
‘Ibâdallâh,
Karena itulah Islam melarang kita
untuk jumawa soal keimanan, bahkan terhadap orang yang kita nilai “belum
beriman”. Hanya bermodal keyakinan terhadap enam rukun iman, tidak kemudian
memberikan kita hak untuk merendahkan orang lain yang kita cap kafir. Sebab,
tak ada jaminan bahwa iman kita stabil kecuali hanya berusaha terus-menerus mempertahankan
dan memperbaikinya. Hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, detik demi
detik.
Tidak heran bila Imam al-Ghazali
dalam kitab kitab Bidâyatul Hidâyah untuk tetap menjaga kerendahan hati
tatkala berhubungan dengna siapa pun, baik anak-anak, orang tua, orang berilmu,
orang bodoh, bahkan orang kafir. Menurut Imam al-Ghazali, kebaikan final hanya
ada di akhirat dan tak seorang pun yang tahu nasib akhir seseorang kecuali
Allah.
Sehingga, kata beliau, bila kita
berhadapan dengan orang kafir, agar kita tetap tawadhu’ beranggapanlah bahwa
kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di
kemudian hari masuk Islam lalu meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul
khâtimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu sebagaimana
keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara kita yang
mengaku Muslim dan beriman? Bisa jadi Allah sesatkan dirimu di ujung kehidupan,
berubah haluan menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal terburuk (sûul
khâtimah). Dengan demikian, muslim dan kafir sekarang masih sangat mungkin
berbalik nasib di kemudian hari. Dirimu yang kini muslim mungkin di kemudian
hari masuk kelompok orang yang jauh dari Allah dan dia yang sekarang kafir
mungkin di kemudian hari masuk golongan orang yang dekat dengan Allah. Wallahu
a’lam.
Semoga Allah anugerahkan kekuatan
yang cukup untuk menjaga dan membenahi iman kita semua, iman yang membawa
kemasalahatan bagi banyak orang dan lingkungan. Semoga Allah tetapkan dan
kuatkan pilar-pilar ini hingga ajal menjemput kita dalam keadaan terbaik, husnul
khatimah.
بَارَكَ
الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ
بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا
فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ
وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ
عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ
بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا
أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ
وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ
لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ
ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
لحَمْدُ
للهِ الّذِي خَلَقَ الخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ، وَأَمْرُهُمْ بِتَوْحِيْدِهِ
وَطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَكْمَلُ الخَلْقِ
عُبُودِيَّةً للهِ، وَأَعْظَمَهُمْ طَاعَةً لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ. اَمَّا بَعْدُ،
فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ
إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ
الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Suatu hari Rasulullah ditanya oleh seorang dari suku Baduwi tentang hijrah. Maksudnya, si Baduwi hendak ikut berjuang bersama umat Islam lainnya dengan bermigrasi dari Makkah menuju Madinah. Nabi pun menjawab dengan nada agak keras:
وَيْحَكَ ،
إِنَّ شَأْنَهَا شَدِيدٌ ، فَهَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ تُؤَدِّى صَدَقَتَهَا ؟ قَالَ
: نَعَمْ ، قَالَ : فَاعْمَلْ مِنْ وَرَاءِ الْبِحَارِ ، فَإِنَّ اللَّهَ لَنْ
يَتِرَكَ مِنْ عَمَلِكَ شَيْئًا
“Celakalah, sungguh itu sangat berat. Apakah kamu memiliki unta yang sudah sampai nishab yang dikeluarkan zakatnya?” Orang Baduwi itu menjawab “Ya.” Rasulullah pun membalas, “Beramalah dari balik perkampungan. Sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baikmu sedikt pun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Said al-Khudri. Dalam pertanyaan orang Baduwi itu tersimpan niat baik untuk berjihad di jalan Allah dengan cara turut serta hijrah ke daerah lain. Hijrah kala itu merupakan pekerjaan yang tidak sederhana.
Lebih dari sekadar menempuh perjalanan jauh, hijrah mengandaikan seseorang bersiap secara fisik dan mental menghadapi berbagai tantangan selama perjalanan, juga tantangan bertemu dengan kehidupan sosial yang baru di tanah orang. Hijrah juga merupakan momen berpisah dengan keluarga dalam waktu cukup lama dan karenanya memastikan bekal dan kesejahteraan bagi orang-orang yang ditinggal.
Mungkin sadar akan keterbatasan orang Baduwi itu untuk melaksanakan itu semua, Rasulullah memberikan alternatif lain tentang cara berjihad. Karena si Baduwi adalah orang yang berpunya, Nabi pun menyarankan dia berbuat baik melalui harta. Si Baduwi dianjurkan tetap berada di kampung halaman dengan memperbanyak sedekah.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Cerita tentang orang Baduwi tersebut mengungkapkan pesan bahwa medan amal ibadah memang sangat luas. Ketika orang-orang kala itu menganggap hijrah sebagai jalan amal yang primadona, Nabi menampiknya dengan menunjukkan jalan-jalan lain yang juga sama baiknya. Rasulullah sadar, kemampuan umatnya berbeda-beda, sebab itu cara berbuat baik pun tidak harus sama.
Petunjuk Nabi ini juga selaras dengan pesan Al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam Surat at-Taubah ayat 122:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Demikianlah lagi-lagi Nabi tak mengharuskan jihad perang atau hijrah sebagai satu-satunya pilihan. Rasulullah menilai pendalaman ilmu dan menjadi pembimbing masyarakat pun bagian dari jihad yang tak kalah penting. Dalam bahasa lain, pola semacam ini bisa kita sebut sebagai “distribusi tugas”. Orang-orang tidak dipaksa bekerja dalam satu bidang tertentu tetapi dibiarkan menduduki porsi masing-masing lalu berperan positif sesuai dengan fungsinya.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Lalu bagaimana bila kita tidak memiliki kekayaan yang cukup? Pertanyaan ini kadang kita temukan dari sejumlah orang yang menyesali dirinya tidak bisa berbuat baik banyak (misalnya) hanya karena ia seorang pegawai rendahan, gajinya sedikit, penghasilannya pas-pasan.
Mereka mungkin lupa bahwa sumber kebaikan tidak selalu ditentukan oleh harta. Bahkan, dalam banyak kasus banyaknya harta kerap malah menjerumuskan. Betapa banyak orang-orang yang berharap peningkatan nasib, namun ketika kenikamatan tersebut hadir orang itu justru menjadi kufur: lupa bersyukur, lupa berbagi kepada sesama.
(Baca: Penderita Lepra, Orang Botak, dan Si Buta dalam Cerita Rasulullah)
Banyak jalan menuju kebaikan. Selain harta, berbuat baik juga bisa disalurkan melalui tenaga dan pikiran. Menjenguk orang sakit, berbakti kepada orang tua, berpatisipasi dalam donor darah, mengajar, memperhatikan orang lemah di sekitar kita, andil dalam kerja bakti, dan lain-lain adalah sedikit contoh dari jalan beribadah atau beramal baik.
Terlebih lagi, amal perbuatan yang tampak biasa bisa berubah menjadi amalan “luar biasa” dengan cara memperbaiki niat. Hal ini dapat terjadi karena niat berpusat di hati, dan hati adalah sumber yang sangat menentukan dalam segenap aktivitas manusia. Tentang memperbaiki niat ini Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta’lîmul Muta‘allim mengatakan:
كَمْ مِن
عَمَلٍ يتَصَوَّرُ بِصُورَةِ عَمَلِ الدُنيَا ثُمَّ يَصِيرُ بِحُسنِ النِّيَّةِ
مِن أَعْمَالِ الآخِرَةِ, وَكَم مِن عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُورَةِ عَمَلِ
الآخِرَةِ ثُمَّ يَصِيرُ مِن أَعْمَالِ الدُنيَا بِسُوءِ النِّـيَّةِ
“Betapa banyak amal perbuatan yang bercirikan amal perbuatan duniawi, tetapi karena niat yang bagus menjadi amal perbuatan akhirat. Betapa banyak perbuatan yang bercirikan amal perbuatan akhirat, tetapi menjadi perbuatan dunia karena niat yang buruk”.
Bekerja, berolah raga, makan, minum, tidur, atau aktivitas sejenis lainnya hanya sekilas hanya rutinitas belaka. Dengan mengimbuhinya niat yang positif, misalnya untuk menunaikan tanggung jawab, untuk kesehatan fisik demi menghamba kepada Allah, rutinitas tersebut menjadi bernilai ibadah. Sebaliknya bila yang demikian diniatkan semata untuk memenuhu sifat tamak, akan menjadi rutinitas yang tidak bernilai baik apa-apa.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Jangan pernah mengabaikan niat, jangan pula meremehkan posisi kita sekarang selamat tak menyalahi syariat. Karena semua orang mampu menata niatnya dan semua orang berpotensi berbuat yang terbaik sesuai dengan posisi dan porsinya masing-masing. Apalagi, kata orang bijak, manusia tidak dicela karena tidak mencapai kebaikan maksimal, melainkan karena tidak mau berikhtiar berbuat baik padahal ia memiliki kemampuan. Wallahu a’lam.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
(Alif Budi Luhur)
Ilustrasi (linkedin.com)
Khutbah I
الحَمْدُ
للهِ الّذِي خَلَقَ الخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ، وَأَمْرُهُمْ بِتَوْحِيْدِهِ
وَطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَكْمَلُ الخَلْقِ
عُبُودِيَّةً للهِ، وَأَعْظَمَهُمْ طَاعَةً لَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ. اَمَّا بَعْدُ،
فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ
إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ
الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Suatu hari Rasulullah ditanya oleh seorang dari suku Baduwi tentang hijrah. Maksudnya, si Baduwi hendak ikut berjuang bersama umat Islam lainnya dengan bermigrasi dari Makkah menuju Madinah. Nabi pun menjawab dengan nada agak keras:
وَيْحَكَ ،
إِنَّ شَأْنَهَا شَدِيدٌ ، فَهَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ تُؤَدِّى صَدَقَتَهَا ؟ قَالَ
: نَعَمْ ، قَالَ : فَاعْمَلْ مِنْ وَرَاءِ الْبِحَارِ ، فَإِنَّ اللَّهَ لَنْ
يَتِرَكَ مِنْ عَمَلِكَ شَيْئًا
“Celakalah, sungguh itu sangat berat. Apakah kamu memiliki unta yang sudah sampai nishab yang dikeluarkan zakatnya?” Orang Baduwi itu menjawab “Ya.” Rasulullah pun membalas, “Beramalah dari balik perkampungan. Sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baikmu sedikt pun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Said al-Khudri. Dalam pertanyaan orang Baduwi itu tersimpan niat baik untuk berjihad di jalan Allah dengan cara turut serta hijrah ke daerah lain. Hijrah kala itu merupakan pekerjaan yang tidak sederhana.
Lebih dari sekadar menempuh perjalanan jauh, hijrah mengandaikan seseorang bersiap secara fisik dan mental menghadapi berbagai tantangan selama perjalanan, juga tantangan bertemu dengan kehidupan sosial yang baru di tanah orang. Hijrah juga merupakan momen berpisah dengan keluarga dalam waktu cukup lama dan karenanya memastikan bekal dan kesejahteraan bagi orang-orang yang ditinggal.
Mungkin sadar akan keterbatasan orang Baduwi itu untuk melaksanakan itu semua, Rasulullah memberikan alternatif lain tentang cara berjihad. Karena si Baduwi adalah orang yang berpunya, Nabi pun menyarankan dia berbuat baik melalui harta. Si Baduwi dianjurkan tetap berada di kampung halaman dengan memperbanyak sedekah.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Cerita tentang orang Baduwi tersebut mengungkapkan pesan bahwa medan amal ibadah memang sangat luas. Ketika orang-orang kala itu menganggap hijrah sebagai jalan amal yang primadona, Nabi menampiknya dengan menunjukkan jalan-jalan lain yang juga sama baiknya. Rasulullah sadar, kemampuan umatnya berbeda-beda, sebab itu cara berbuat baik pun tidak harus sama.
Petunjuk Nabi ini juga selaras dengan pesan Al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam Surat at-Taubah ayat 122:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Demikianlah lagi-lagi Nabi tak mengharuskan jihad perang atau hijrah sebagai satu-satunya pilihan. Rasulullah menilai pendalaman ilmu dan menjadi pembimbing masyarakat pun bagian dari jihad yang tak kalah penting. Dalam bahasa lain, pola semacam ini bisa kita sebut sebagai “distribusi tugas”. Orang-orang tidak dipaksa bekerja dalam satu bidang tertentu tetapi dibiarkan menduduki porsi masing-masing lalu berperan positif sesuai dengan fungsinya.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Lalu bagaimana bila kita tidak memiliki kekayaan yang cukup? Pertanyaan ini kadang kita temukan dari sejumlah orang yang menyesali dirinya tidak bisa berbuat baik banyak (misalnya) hanya karena ia seorang pegawai rendahan, gajinya sedikit, penghasilannya pas-pasan.
Mereka mungkin lupa bahwa sumber kebaikan tidak selalu ditentukan oleh harta. Bahkan, dalam banyak kasus banyaknya harta kerap malah menjerumuskan. Betapa banyak orang-orang yang berharap peningkatan nasib, namun ketika kenikamatan tersebut hadir orang itu justru menjadi kufur: lupa bersyukur, lupa berbagi kepada sesama.
(Baca: Penderita Lepra, Orang Botak, dan Si Buta dalam Cerita Rasulullah)
Banyak jalan menuju kebaikan. Selain harta, berbuat baik juga bisa disalurkan melalui tenaga dan pikiran. Menjenguk orang sakit, berbakti kepada orang tua, berpatisipasi dalam donor darah, mengajar, memperhatikan orang lemah di sekitar kita, andil dalam kerja bakti, dan lain-lain adalah sedikit contoh dari jalan beribadah atau beramal baik.
Terlebih lagi, amal perbuatan yang tampak biasa bisa berubah menjadi amalan “luar biasa” dengan cara memperbaiki niat. Hal ini dapat terjadi karena niat berpusat di hati, dan hati adalah sumber yang sangat menentukan dalam segenap aktivitas manusia. Tentang memperbaiki niat ini Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta’lîmul Muta‘allim mengatakan:
كَمْ مِن
عَمَلٍ يتَصَوَّرُ بِصُورَةِ عَمَلِ الدُنيَا ثُمَّ يَصِيرُ بِحُسنِ النِّيَّةِ
مِن أَعْمَالِ الآخِرَةِ, وَكَم مِن عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُورَةِ عَمَلِ
الآخِرَةِ ثُمَّ يَصِيرُ مِن أَعْمَالِ الدُنيَا بِسُوءِ النِّـيَّةِ
“Betapa banyak amal perbuatan yang bercirikan amal perbuatan duniawi, tetapi karena niat yang bagus menjadi amal perbuatan akhirat. Betapa banyak perbuatan yang bercirikan amal perbuatan akhirat, tetapi menjadi perbuatan dunia karena niat yang buruk”.
Bekerja, berolah raga, makan, minum, tidur, atau aktivitas sejenis lainnya hanya sekilas hanya rutinitas belaka. Dengan mengimbuhinya niat yang positif, misalnya untuk menunaikan tanggung jawab, untuk kesehatan fisik demi menghamba kepada Allah, rutinitas tersebut menjadi bernilai ibadah. Sebaliknya bila yang demikian diniatkan semata untuk memenuhu sifat tamak, akan menjadi rutinitas yang tidak bernilai baik apa-apa.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Jangan pernah mengabaikan niat, jangan pula meremehkan posisi kita sekarang selamat tak menyalahi syariat. Karena semua orang mampu menata niatnya dan semua orang berpotensi berbuat yang terbaik sesuai dengan posisi dan porsinya masing-masing. Apalagi, kata orang bijak, manusia tidak dicela karena tidak mencapai kebaikan maksimal, melainkan karena tidak mau berikhtiar berbuat baik padahal ia memiliki kemampuan. Wallahu a’lam.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
(Alif Budi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar