WEJANGAN DEWA RUCI
>------------------
>termangu sang
bima di tepian samudera
>dibelai
kehangatan alun ombak setinggi betis
>tak ada lagi
tempat bertanya
>sesirnanya sang
naga nemburnawa
>
>dewaruci, sang
marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
>tahu belaka
bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
>dan mustahil
akan pernah bisa ditemukan
>oleh manusia
mana pun.
>
>menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
>'apa yang kau
cari, hai werkudara,
>hanya ada
bencana dan kesulitan yang ada di sini
>di tempat
sesunyi dan sekosong ini'
>
>terkejut sang
sena dan mencari ke kanan kiri
>setelah melihat
sang penanya ia bergumam:
>'makhluk apa
lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
>kecil mungil
tapi berbunyi pongah dan jumawa?
>
>serba sunyi di
sini, lanjut sang marbudyengrat
>mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti
ini
>sia-sialah
usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
>
>sang sena
semakin termangu menduga-duga,
>dan akhirnya
sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
>ah, paduka tuan,
gelap pekat rasa hatiku.
>entahlah apa
sebenarnya yang aku cari ini.
>dan siapa
sebenarnya diriku ini
>
>ketahuilah anakku,
akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
>yang tahu
segalanya tentang dirimu
>anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
>anak kunti,
keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu dan janaka.
>yang bersaudara
dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri
>mandraka.
>datangmu kemari
atas perintah gurumu dahyang durna
>untuk mencari
tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
>
>bila demikian,
pukulun, wejanglah aku seperlunya
>agar tidak
mengalami kegelapan seperti ini
>terasa bagai
keris tanpa sarungnya
>
>sabarlah
anakku,.memang berat cobaan hidup
>ingatlah pesanku
ini senantiasa
>jangan berangkat
sebelum tahu tujuanmu,
>jangan menyuap
sebelum mencicipnya.
>tahu hanya
berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
>sesuatu terwujud
hanya dari tindakan.
>
>janganlah bagai
orang gunung membeli emas,
>mendapat besi
kuning pun puas menduga mendapat emas
>bila tanpa
dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
>duh pukulun,
tahulah sudah di mana salah hamba
>bertindak tanpa
tahu asal tujuan
>sekarang hamba
pasrah jiwaraga terserah paduka.
>
>nah, bila benar
ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
>lanjut sang
marbudyengrat
>
>sang sena
tertegun tak percaya mendengarnya
>ah, mana mungkin
hamba bisa melakukannya
>paduka hanyalah
anak bajang sedangkan tubuh hamba
sebesar bukit
>kelingking pun
tak akan mungkin muat.
>
>wahai werkudara
si dungu anakku,
>sebesar apa
dirimu dibanding alam semesta?
>seisi alam ini
pun bisa masuk ke dalam diriku,
>jangankan lagi
dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
>
>mendengar ucapan
sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
>dan segera
melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
>yang telah
terangsur ke arahnya
>
>heh, werkudara,
katakanlah sejelas-jelasnya
>segala yang kau
saksikan di sana
>
>hanya tampak
samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
>alam awang-uwung
tak berbatas hamba semakin bingung
>tak tahu mana
utara selatan atas bawah depan belakang
>
>janganlah mudah
cemas, ujar sang dewaruci
>yakinilah bahwa
di setiap kebimbangan
>senantiasa akan
ada pertolongan dewata
>
>dalam seketika
sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
>setelah hati
kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
>
>heh, sena!
ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
>
>awalnya terlihat
cahaya terang memancar, kata sang sena
>kemudian disusul
cahaya hitam, merah, kuning, putih.
>apakah gerangan
semua itu?
>
>ketahuilah
werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
>penerang hati,
yang disebut mukasipat (mukasyafah),
>penunjuk ke
kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
>cahaya empat
warna, itulah warna hati
>hitam merah
kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
>hitam
melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu
>memiliki.
>hanya si
putih-lah yang bisa membawamu
>ke budi jatmika
dan sanggup menerima sasmita alam,
>namun selalu
terhalangi oleh ketiga warna yang lain
>hanya sendiri
tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
>hanya bisa
menang dengan bantuan sang suksma.
>adalah nugraha
bila si putih bisa kau menangkan
>di saat itulah
dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
>
>duhai pukulun,
sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
>setelah lenyap
empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
>ada yang bagai
ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala
>berkobar.
>
>itulah
kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
>semuanya telah
senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
>sering disebut
jagad agung jagad cilik
>
>dari sanalah
asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
>seusai kehidupan
di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
>tanpa terbedakan
lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
>akan tampak
bagai lebah muda kuning gading
>amatilah lebih
cermat, wahai werkudara anakku
>
>semakin cerah
rasa hati hamba.
>kini tampak
putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
>warna sejatikah
yang hamba saksikan itu?
>
>bukan, anakku
yang dungu, bukan,
>berusahalah
segera mampu membedakannya
>zat sejati yang
kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
>tak
bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
>
>sedang putaran
berwarna gading itu adalah pramana
>yang juga tinggal
di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di
pepohonan
>ia tidak ikut
merasakan lapar kenyang haus lelah
ngantuk dan sebagainya.
>dialah yang
menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
>ialah yang
merawat raga
>tanpanya raga
akan terpuruk menunjukkan kematian.
>
>pukulun,
jelaslah sudah tentang pramana dalam
kehidupan hamba
>lalu bagaimana
wujudnya zat sejati itu?
>
>itu tidaklah
mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
>sebelum hal itu
dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari
>tempat ini
>serba nikmat
aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
>
>itu tak boleh
terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
>mengenai zat
sejati, engkau akan menemukannya sendiri
>setelah memahami
tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan
>dari segala
goda,
>di saat itulah
sang suksma akan menghampirimu,
>dan batinmu akan
berada di dalam sang suksma sejati
>
>janganlah
perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
>bagai air dengan
ombak, atau minyak dengan susu
>perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
>jalankanlah
sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
>jangan pernah
punya sesembahan lain selain sang maha luhur
>pakailah
senantiasa keempat pengetahuan ini
>pengetahuan
kelima adalah pengetahuan antara,
>yaitu mati di
dalam hidup, hidup di dalam mati
>hidup yang
kekal, semuanya sudah berlalu
>tak perlu lagi
segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
>
>maka habislah
wejangan sang dewaruci,
>sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala
rahasia rasa
>terang bercahaya
seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
>bagaikan kuntum
bunga yang telah mekar.
>menyebarkan
keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
>dan blassss . .
. !
>sudah keluarlah
sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
>kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi
tanpa sang dewaruci
>
>sang bima
melompat ke daratan dan melangkah kembali
>siap menyongsong
dan menyusuri rimba belantara kehidupan
>tancep kayon
ebet kadarusman
19th September 2007,
20:59
Ia hebat, kuat, tegas
tapijuga adil dan teguh pendirian. Berbicara apa adanya tidak direkayasa, tidak
mengenal takut dan memperlakukan sama kepada siapa pun tanpa memandang tinggi
rendahnya derajat. Ia menggunakan bahasa kasar dan tidak pernah menyembah, kecuali
kepada gurunya dengan cara merengkuhkan badan. Sedang kepada orang yang lebih
tua dan dihormati cukup badannya ditegakkan seperti seorang prajurit memberi
hormat kepada komandannya.
Tubuhnya yang jangkung dan besar bagaikan bunga besar yang wangi luar dalamnya pertanda hatinya bersih ilmunya tinggi tapi tidak menyombongkan diri. Mudah tersinggung tapi cepat berbaik kembali, bahkan jika perlu mau mengalah asal untuk kedamaian dan keselamatan. Dalam menerapkan keadilan tidak pandang bulu walau sanak kadang jika bersalah harus dihukum dan tabu berbohong. Sekalipun demikian ia penurut kepada Yudhistira kakak tertuanya.
Hal itu dibuktikan ketika Pandawa kalah bermain judi dengan Drupadi menjadi tumpangannya hingga menjadi milik Kurawa. Ketika itu Dursasena berusaha menelanjangi Drupadi di hadapan orang banyak dengan cara membetot kain yang menutupi tubuh si putri jelita itu hingga Bima manjadi sangat murka dan hendak menolong serta membunuh Dursasena. Tetapi Yudhistira mencegah seraya berkata: "Tahan, simpan amarahmu kita sedang diuji," ujarnya. Terpaksa Bima mengurungkan niatnya sambil menahan nafsu yang membara.
Ternyata usaha Dursasena hendak mempermalukan Drupadi menemui kegagalan, karena setiap kali membetot kain yang menutupi tubuh Drupadi, Dewa Darma menggantinya dengan kain lain hingga Dursasena menjadi pusing sendiri. Atas perlakuan Dursasena yang diluar batas itu, Bima bersumpah jika kelak timbul perang besar antara kedua golongan, ia akan membunuh Dursasena dan darahnya akan diminum. Bima pun bersumpah akan menggebug paha Duryudana hingga remuk sampai ajal. Sementara Drupadi akan membiarkan rambutnya terurai tak disanggul sebelum dikeramas oleh darahnya Dursasena yang telah mempermalukan dirinya.
Keistimewaan lain Bima adalah lambang kejujuran dan kesetiaan seorang murid kepada gurunya. Dorna (guru) di mata Bima adalah manusia utama bermartabat baik, berilmu tinggi. Karena itu kejujuran dan kesetiaan kepada guru dibuktikan ketika Bima diperintahkan mencari Air Hidup (Tirta Amerta) di samudera selatan, suatu lokasi yang amat terpencil dan mengerikan dengan gelombangnya yang ganas bergulung gulung sebesar gunung anakan hingga tak seorang pun yang berani menjamah tempat itu. Sebaliknya bagi Bima sedikit pun tak merasa gentar. Diterjangnya gelombang dahsyat itu hingga mencapai tengah samudera. Di saat itulah Bima dihadang seekor Naga bernama Nembur Nawa dan pertarungan hebat pun terjadi yang berakhir dengan terbunuhnya sang penjaga samudera itu. Keberhasilan menyingkirkan ular naga itu, melambangkan bahwa Bima bermasih membunuh nafsu duniawi yang menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tetapi akibat perkelahian yang dahsya itu, Bima pun mengalami akibat fatal dilanda kelelahan yang amat sangat hingga tubuhnya timbul tenggelam tak berdaya. Hal ini melambangkan bahwa betapapun hebatnya manusia, namun ibarat sebutir beras di dalam karung menunjukkan betapa kecilnya manusia dibandingkan kebesaran Tuhan. Semua yang dimiliki, kekuatan, keperkasaan, ilmu pengetahuan yang dibanggakan untuk pemenuhan hasratnya masih sangat terbatas dibanding keakraban Maha Pencipta seru sekalian alam.
Di saat Bima hampir mati ditelan laut, tiba-tiba muncul seorang anak kecil yang baik bentuk maupun rupanya sama dengan sama Bima. Dialah Dewa Ruci atau Nawa Ruci. Bima yang heran ada anak kecil yang segala-galanya sama dengan dirinya bertanya: "Hai bocah cilik, rupamu kok sama denganku. Siapa engkau?"
Dewa Ruci: "Aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku. Aku berada dalam dirimu. Tetapi karena matamu hanya digunakan untuk memandang yang jauh, menoleh ke belakang sedang dekatnya tak kau hiraukan, maka bersatu pun kau tak mengenal aku. Karena itu kenalilah dirimu. Dengan mengenal diri sendiri, kau akan mengenal pula sifat-sifatmu, kelebihan dan kekurangannya," ujarnya. Selanjutnya dalam wejangannya Dewa ruci mengatakanm bahwa siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhannya.
Tetapi dalam hal mengenal Tuhan, bukan seperti engkau melihat aku dengan jelas, sebab tidak ada manusia yang ma'rifat dengan Tuhan. Mengenal Tuhan hanya dengan kepercayaan dan bukti karyanya yang nyata.
Menurut ahli pikir (philisopher), dengan akal dan pikiran alam yang besar dan luar terdiri dari bumi, langsit, matahari, bulan dan berjuta-juta bintang, pasti ada yang menciptakan yaitu Tuhan. Karena alam termasuk manusia yang adanya diciptakan, maka sifatnya tidak sempurna. Sedang Tuhan yang menciptakan, maka sifatnya sempurna. Karena itu manusia tidak dapat melihat Tuhan dengan sempurna. Maka di saat itulah Bima mengenal dengan dirinya yang sejati guru yang mursid. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidupnya.
Kemudian Bima bertanya mengenai air hidup yang sedang ia cari dan apa maksudnya. Dewa Ruci menerangkan, bahwa air itu hidup dan akan selalu hidup karena hidup adalah sala satu sifat Allah. Dialah yang memberi hidup kepada semua makhluk hidup yang kumelip hidup di dunia, karena dialah yang hidup langgeng dan dialah yang punya hidup. Tetapi untuk mengenal makna perlambangannya, Bima harus mengetahui rahasianya. Untuk itu Bima dipersilahkan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui lubang telingannya yang kiri, tetapi tidak boleh hanya sukmanya, melainkan harus dengan badan jasad seutuhnya.
Bima bertanya mengapa harus masuk ke telinga kiri, apa bedanya telinga kiri dan yang kanan. Dewa Ruci menjawab, bahwa dalam jiwa manusia melekat noda-noda kotor dan nafsu angkara. Sedang Bima akan masuk ke suatu alam yang teramat suci tak ada titik noda sedikitpun. Karena itu harus masuk ke telinga kiri yang fungsinya membersihkan noda-noda kotoran tersebut.
Syaratnya Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci, tetapi sesungguhnya ia masuk ke alam gaib yang kosong melompong tiada suatu apa pun di sekitarnya, uwung-uwung masih suwung, awang -awang masih lengang, bumi langit tiada nampak yang dipijak tak bertanah, Di alam itulah Bima menyaksikan dan mendapat penerangan mengenai Sapta Alam dari mulai Alam Gaib sampai Alam Sempurna (Insan kamil). Maka di saat itulah Bima mengenal asal mula adanya hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidup dan kehidupannya.
Busana Bima antara lain, dodot kampuh bang bintulu berwarna merah, putih, hitam, dan kuning melambangkan bibitnya yang akan menjadi bumi langit dan isinya. Kuku Pancanaka, Panca= lima, Naka= landep, memperlambangkan bahwa Bima mampu menaklukkan nafsu Pancaindra, sehingga menjadikan kekuatan yang positif. Memakai gelang Chandra Kirana, Chandra= rupa, Kirana= bulan. Artinya ilmu pengetahuan itu laksana bulan sedang purnama dapat menentramkan hati dan bermanfaat bila digunakan secara benar. Anting-anting Pudak sinumpet, artinya Bima sudah mengenyam ilmu mangunngal tetapi tidak memperlihatkan diri kepada orang lain (menyombongkan diri) karena itu sekilas ia terlihat seperti orang dungu atau bodoh.
Tubuhnya yang jangkung dan besar bagaikan bunga besar yang wangi luar dalamnya pertanda hatinya bersih ilmunya tinggi tapi tidak menyombongkan diri. Mudah tersinggung tapi cepat berbaik kembali, bahkan jika perlu mau mengalah asal untuk kedamaian dan keselamatan. Dalam menerapkan keadilan tidak pandang bulu walau sanak kadang jika bersalah harus dihukum dan tabu berbohong. Sekalipun demikian ia penurut kepada Yudhistira kakak tertuanya.
Hal itu dibuktikan ketika Pandawa kalah bermain judi dengan Drupadi menjadi tumpangannya hingga menjadi milik Kurawa. Ketika itu Dursasena berusaha menelanjangi Drupadi di hadapan orang banyak dengan cara membetot kain yang menutupi tubuh si putri jelita itu hingga Bima manjadi sangat murka dan hendak menolong serta membunuh Dursasena. Tetapi Yudhistira mencegah seraya berkata: "Tahan, simpan amarahmu kita sedang diuji," ujarnya. Terpaksa Bima mengurungkan niatnya sambil menahan nafsu yang membara.
Ternyata usaha Dursasena hendak mempermalukan Drupadi menemui kegagalan, karena setiap kali membetot kain yang menutupi tubuh Drupadi, Dewa Darma menggantinya dengan kain lain hingga Dursasena menjadi pusing sendiri. Atas perlakuan Dursasena yang diluar batas itu, Bima bersumpah jika kelak timbul perang besar antara kedua golongan, ia akan membunuh Dursasena dan darahnya akan diminum. Bima pun bersumpah akan menggebug paha Duryudana hingga remuk sampai ajal. Sementara Drupadi akan membiarkan rambutnya terurai tak disanggul sebelum dikeramas oleh darahnya Dursasena yang telah mempermalukan dirinya.
Keistimewaan lain Bima adalah lambang kejujuran dan kesetiaan seorang murid kepada gurunya. Dorna (guru) di mata Bima adalah manusia utama bermartabat baik, berilmu tinggi. Karena itu kejujuran dan kesetiaan kepada guru dibuktikan ketika Bima diperintahkan mencari Air Hidup (Tirta Amerta) di samudera selatan, suatu lokasi yang amat terpencil dan mengerikan dengan gelombangnya yang ganas bergulung gulung sebesar gunung anakan hingga tak seorang pun yang berani menjamah tempat itu. Sebaliknya bagi Bima sedikit pun tak merasa gentar. Diterjangnya gelombang dahsyat itu hingga mencapai tengah samudera. Di saat itulah Bima dihadang seekor Naga bernama Nembur Nawa dan pertarungan hebat pun terjadi yang berakhir dengan terbunuhnya sang penjaga samudera itu. Keberhasilan menyingkirkan ular naga itu, melambangkan bahwa Bima bermasih membunuh nafsu duniawi yang menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tetapi akibat perkelahian yang dahsya itu, Bima pun mengalami akibat fatal dilanda kelelahan yang amat sangat hingga tubuhnya timbul tenggelam tak berdaya. Hal ini melambangkan bahwa betapapun hebatnya manusia, namun ibarat sebutir beras di dalam karung menunjukkan betapa kecilnya manusia dibandingkan kebesaran Tuhan. Semua yang dimiliki, kekuatan, keperkasaan, ilmu pengetahuan yang dibanggakan untuk pemenuhan hasratnya masih sangat terbatas dibanding keakraban Maha Pencipta seru sekalian alam.
Di saat Bima hampir mati ditelan laut, tiba-tiba muncul seorang anak kecil yang baik bentuk maupun rupanya sama dengan sama Bima. Dialah Dewa Ruci atau Nawa Ruci. Bima yang heran ada anak kecil yang segala-galanya sama dengan dirinya bertanya: "Hai bocah cilik, rupamu kok sama denganku. Siapa engkau?"
Dewa Ruci: "Aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku. Aku berada dalam dirimu. Tetapi karena matamu hanya digunakan untuk memandang yang jauh, menoleh ke belakang sedang dekatnya tak kau hiraukan, maka bersatu pun kau tak mengenal aku. Karena itu kenalilah dirimu. Dengan mengenal diri sendiri, kau akan mengenal pula sifat-sifatmu, kelebihan dan kekurangannya," ujarnya. Selanjutnya dalam wejangannya Dewa ruci mengatakanm bahwa siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhannya.
Tetapi dalam hal mengenal Tuhan, bukan seperti engkau melihat aku dengan jelas, sebab tidak ada manusia yang ma'rifat dengan Tuhan. Mengenal Tuhan hanya dengan kepercayaan dan bukti karyanya yang nyata.
Menurut ahli pikir (philisopher), dengan akal dan pikiran alam yang besar dan luar terdiri dari bumi, langsit, matahari, bulan dan berjuta-juta bintang, pasti ada yang menciptakan yaitu Tuhan. Karena alam termasuk manusia yang adanya diciptakan, maka sifatnya tidak sempurna. Sedang Tuhan yang menciptakan, maka sifatnya sempurna. Karena itu manusia tidak dapat melihat Tuhan dengan sempurna. Maka di saat itulah Bima mengenal dengan dirinya yang sejati guru yang mursid. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidupnya.
Kemudian Bima bertanya mengenai air hidup yang sedang ia cari dan apa maksudnya. Dewa Ruci menerangkan, bahwa air itu hidup dan akan selalu hidup karena hidup adalah sala satu sifat Allah. Dialah yang memberi hidup kepada semua makhluk hidup yang kumelip hidup di dunia, karena dialah yang hidup langgeng dan dialah yang punya hidup. Tetapi untuk mengenal makna perlambangannya, Bima harus mengetahui rahasianya. Untuk itu Bima dipersilahkan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui lubang telingannya yang kiri, tetapi tidak boleh hanya sukmanya, melainkan harus dengan badan jasad seutuhnya.
Bima bertanya mengapa harus masuk ke telinga kiri, apa bedanya telinga kiri dan yang kanan. Dewa Ruci menjawab, bahwa dalam jiwa manusia melekat noda-noda kotor dan nafsu angkara. Sedang Bima akan masuk ke suatu alam yang teramat suci tak ada titik noda sedikitpun. Karena itu harus masuk ke telinga kiri yang fungsinya membersihkan noda-noda kotoran tersebut.
Syaratnya Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci, tetapi sesungguhnya ia masuk ke alam gaib yang kosong melompong tiada suatu apa pun di sekitarnya, uwung-uwung masih suwung, awang -awang masih lengang, bumi langit tiada nampak yang dipijak tak bertanah, Di alam itulah Bima menyaksikan dan mendapat penerangan mengenai Sapta Alam dari mulai Alam Gaib sampai Alam Sempurna (Insan kamil). Maka di saat itulah Bima mengenal asal mula adanya hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidup dan kehidupannya.
Busana Bima antara lain, dodot kampuh bang bintulu berwarna merah, putih, hitam, dan kuning melambangkan bibitnya yang akan menjadi bumi langit dan isinya. Kuku Pancanaka, Panca= lima, Naka= landep, memperlambangkan bahwa Bima mampu menaklukkan nafsu Pancaindra, sehingga menjadikan kekuatan yang positif. Memakai gelang Chandra Kirana, Chandra= rupa, Kirana= bulan. Artinya ilmu pengetahuan itu laksana bulan sedang purnama dapat menentramkan hati dan bermanfaat bila digunakan secara benar. Anting-anting Pudak sinumpet, artinya Bima sudah mengenyam ilmu mangunngal tetapi tidak memperlihatkan diri kepada orang lain (menyombongkan diri) karena itu sekilas ia terlihat seperti orang dungu atau bodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar