Mengenai Saya

Foto saya
MIS BAHRUL ULUM PURWOREJO PUNGGING MOJOKERTO BERADA DI DAERAH PEGUNUNGAN TEPATNYA DI JALAN MOJOSARI TRAWAS KM 11DESA PURWOREJO RT/RW 12/02

ALUMNI DIKLAT KAMAD BATU HOTEL ASSIDA MALANG


WEJANGAN DEWA RUCI





WEJANGAN DEWA RUCI

>termangu sang bima di tepian samudera
>dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
>tak ada lagi tempat bertanya
>sesirnanya sang naga nemburnawa
>dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
>tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
>dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
>oleh manusia mana pun.
>menghampir  sang dewa ruci sambil menyapa:
>'apa yang kau cari, hai werkudara,
>hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
>di tempat sesunyi dan sekosong ini'
>terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
>setelah melihat sang penanya ia bergumam:
>'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
>kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
>serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
>mustahil  akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
>sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
>sang sena semakin termangu menduga-duga,
>dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
>ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
>entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
>dan siapa sebenarnya diriku ini
>ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
>yang tahu segalanya tentang dirimu
>anakku yang  keturunan hyang guru dari hyang brahma,
>anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu dan janaka.
>yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri
>mandraka.
>datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
>untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
>bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
>agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
>terasa bagai keris tanpa sarungnya
>sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
>ingatlah pesanku ini  senantiasa
>jangan berangkat sebelum  tahu tujuanmu,
>jangan menyuap sebelum mencicipnya.
>tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
>sesuatu terwujud hanya dari tindakan.

>janganlah bagai orang gunung membeli emas,
>mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
>bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan

>duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
>bertindak tanpa tahu asal tujuan
>sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
>nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
>lanjut sang marbudyengrat
>sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
>ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
>paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba  sebesar bukit
>kelingking pun tak akan mungkin muat.
>wahai werkudara si dungu anakku,
>sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
>seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
>jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
>mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
>dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
>yang telah terangsur ke arahnya
>heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
>segala yang kau saksikan di sana
>hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
>alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
>tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
>janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
>yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
>senantiasa akan ada pertolongan dewata
>dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
>setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
>heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
>awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
>kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
>apakah gerangan semua itu?
>ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
>penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
>penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
>cahaya empat warna, itulah warna hati
>hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
>hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu
>memiliki.
>hanya si putih-lah yang bisa membawamu
>ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,


>namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
>hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
>hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
>adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
>di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
>duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
>setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
>ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala
>berkobar.
>itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
>semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
>sering disebut jagad agung jagad cilik
>dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
>seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
>tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
>akan tampak bagai lebah muda kuning gading
>amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
>semakin cerah rasa hati hamba.
>kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
>warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
>bukan, anakku yang dungu, bukan,
>berusahalah segera mampu membedakannya
>zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
>tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
>sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
>yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di
pepohonan
>ia tidak ikut merasakan  lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
>dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
>ialah yang merawat raga
>tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
>pukulun, jelaslah sudah  tentang pramana dalam kehidupan hamba
>lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
>itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
>sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari
>tempat ini
>serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
>itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
>mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya  sendiri
>setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan
>dari segala goda,
>di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
>dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
>janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
>bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
>perbuatlah,  jangan hanya mempercakapkannya belaka
>jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
>jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
>pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
>pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
>yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
>hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
>tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
>maka habislah wejangan sang dewaruci,
>sang guru  merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
>terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
>bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
>menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
>dan blassss . . . !
>sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
>kembali ke  alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
>sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
>siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
>tancep kayon
>salam,
>harmiel m soekardjo
>[EMAIL PROTECTED

















ebet kadarusman
19th September 2007, 20:59
Ia hebat, kuat, tegas tapijuga adil dan teguh pendirian. Berbicara apa adanya tidak direkayasa, tidak mengenal takut dan memperlakukan sama kepada siapa pun tanpa memandang tinggi rendahnya derajat. Ia menggunakan bahasa kasar dan tidak pernah menyembah, kecuali kepada gurunya dengan cara merengkuhkan badan. Sedang kepada orang yang lebih tua dan dihormati cukup badannya ditegakkan seperti seorang prajurit memberi hormat kepada komandannya.

Tubuhnya yang jangkung dan besar bagaikan bunga besar yang wangi luar dalamnya pertanda hatinya bersih ilmunya tinggi tapi tidak menyombongkan diri. Mudah tersinggung tapi cepat berbaik kembali, bahkan jika perlu mau mengalah asal untuk kedamaian dan keselamatan. Dalam menerapkan keadilan tidak pandang bulu walau sanak kadang jika bersalah harus dihukum dan tabu berbohong. Sekalipun demikian ia penurut kepada Yudhistira kakak tertuanya.

Hal itu dibuktikan ketika Pandawa kalah bermain judi dengan Drupadi menjadi tumpangannya hingga menjadi milik Kurawa. Ketika itu Dursasena berusaha menelanjangi Drupadi di hadapan orang banyak dengan cara membetot kain yang menutupi tubuh si putri jelita itu hingga Bima manjadi sangat murka dan hendak menolong serta membunuh Dursasena. Tetapi Yudhistira mencegah seraya berkata: "Tahan, simpan amarahmu kita sedang diuji," ujarnya. Terpaksa Bima mengurungkan niatnya sambil menahan nafsu yang membara.

Ternyata usaha Dursasena hendak mempermalukan Drupadi menemui kegagalan, karena setiap kali membetot kain yang menutupi tubuh Drupadi, Dewa Darma menggantinya dengan kain lain hingga Dursasena menjadi pusing sendiri. Atas perlakuan Dursasena yang diluar batas itu, Bima bersumpah jika kelak timbul perang besar antara kedua golongan, ia akan membunuh Dursasena dan darahnya akan diminum. Bima pun bersumpah akan menggebug paha Duryudana hingga remuk sampai ajal. Sementara Drupadi akan membiarkan rambutnya terurai tak disanggul sebelum dikeramas oleh darahnya Dursasena yang telah mempermalukan dirinya.

Keistimewaan lain Bima adalah lambang kejujuran dan kesetiaan seorang murid kepada gurunya. Dorna (guru) di mata Bima adalah manusia utama bermartabat baik, berilmu tinggi. Karena itu kejujuran dan kesetiaan kepada guru dibuktikan ketika Bima diperintahkan mencari Air Hidup (Tirta Amerta) di samudera selatan, suatu lokasi yang amat terpencil dan mengerikan dengan gelombangnya yang ganas bergulung gulung sebesar gunung anakan hingga tak seorang pun yang berani menjamah tempat itu. Sebaliknya bagi Bima sedikit pun tak merasa gentar. Diterjangnya gelombang dahsyat itu hingga mencapai tengah samudera. Di saat itulah Bima dihadang seekor Naga bernama Nembur Nawa dan pertarungan hebat pun terjadi yang berakhir dengan terbunuhnya sang penjaga samudera itu. Keberhasilan menyingkirkan ular naga itu, melambangkan bahwa Bima bermasih membunuh nafsu duniawi yang menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tetapi akibat perkelahian yang dahsya itu, Bima pun mengalami akibat fatal dilanda kelelahan yang amat sangat hingga tubuhnya timbul tenggelam tak berdaya. Hal ini melambangkan bahwa betapapun hebatnya manusia, namun ibarat sebutir beras di dalam karung menunjukkan betapa kecilnya manusia dibandingkan kebesaran Tuhan. Semua yang dimiliki, kekuatan, keperkasaan, ilmu pengetahuan yang dibanggakan untuk pemenuhan hasratnya masih sangat terbatas dibanding keakraban Maha Pencipta seru sekalian alam.

Di saat Bima hampir mati ditelan laut, tiba-tiba muncul seorang anak kecil yang baik bentuk maupun rupanya sama dengan sama Bima. Dialah Dewa Ruci atau Nawa Ruci. Bima yang heran ada anak kecil yang segala-galanya sama dengan dirinya bertanya: "Hai bocah cilik, rupamu kok sama denganku. Siapa engkau?"

Dewa Ruci: "Aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku. Aku berada dalam dirimu. Tetapi karena matamu hanya digunakan untuk memandang yang jauh, menoleh ke belakang sedang dekatnya tak kau hiraukan, maka bersatu pun kau tak mengenal aku. Karena itu kenalilah dirimu. Dengan mengenal diri sendiri, kau akan mengenal pula sifat-sifatmu, kelebihan dan kekurangannya," ujarnya. Selanjutnya dalam wejangannya Dewa ruci mengatakanm bahwa siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhannya.

Tetapi dalam hal mengenal Tuhan, bukan seperti engkau melihat aku dengan jelas, sebab tidak ada manusia yang ma'rifat dengan Tuhan. Mengenal Tuhan hanya dengan kepercayaan dan bukti karyanya yang nyata.

Menurut ahli pikir (philisopher), dengan akal dan pikiran alam yang besar dan luar terdiri dari bumi, langsit, matahari, bulan dan berjuta-juta bintang, pasti ada yang menciptakan yaitu Tuhan. Karena alam termasuk manusia yang adanya diciptakan, maka sifatnya tidak sempurna. Sedang Tuhan yang menciptakan, maka sifatnya sempurna. Karena itu manusia tidak dapat melihat Tuhan dengan sempurna. Maka di saat itulah Bima mengenal dengan dirinya yang sejati guru yang mursid. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidupnya.

Kemudian Bima bertanya mengenai air hidup yang sedang ia cari dan apa maksudnya. Dewa Ruci menerangkan, bahwa air itu hidup dan akan selalu hidup karena hidup adalah sala satu sifat Allah. Dialah yang memberi hidup kepada semua makhluk hidup yang kumelip hidup di dunia, karena dialah yang hidup langgeng dan dialah yang punya hidup. Tetapi untuk mengenal makna perlambangannya, Bima harus mengetahui rahasianya. Untuk itu Bima dipersilahkan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui lubang telingannya yang kiri, tetapi tidak boleh hanya sukmanya, melainkan harus dengan badan jasad seutuhnya.

Bima bertanya mengapa harus masuk ke telinga kiri, apa bedanya telinga kiri dan yang kanan. Dewa Ruci menjawab, bahwa dalam jiwa manusia melekat noda-noda kotor dan nafsu angkara. Sedang Bima akan masuk ke suatu alam yang teramat suci tak ada titik noda sedikitpun. Karena itu harus masuk ke telinga kiri yang fungsinya membersihkan noda-noda kotoran tersebut.

Syaratnya Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci, tetapi sesungguhnya ia masuk ke alam gaib yang kosong melompong tiada suatu apa pun di sekitarnya, uwung-uwung masih suwung, awang -awang masih lengang, bumi langit tiada nampak yang dipijak tak bertanah, Di alam itulah Bima menyaksikan dan mendapat penerangan mengenai Sapta Alam dari mulai Alam Gaib sampai Alam Sempurna (Insan kamil). Maka di saat itulah Bima mengenal asal mula adanya hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidup dan kehidupannya.

Busana Bima antara lain, dodot kampuh bang bintulu berwarna merah, putih, hitam, dan kuning melambangkan bibitnya yang akan menjadi bumi langit dan isinya. Kuku Pancanaka, Panca= lima, Naka= landep, memperlambangkan bahwa Bima mampu menaklukkan nafsu Pancaindra, sehingga menjadikan kekuatan yang positif. Memakai gelang Chandra Kirana, Chandra= rupa, Kirana= bulan. Artinya ilmu pengetahuan itu laksana bulan sedang purnama dapat menentramkan hati dan bermanfaat bila digunakan secara benar. Anting-anting Pudak sinumpet, artinya Bima sudah mengenyam ilmu mangunngal tetapi tidak memperlihatkan diri kepada orang lain (menyombongkan diri) karena itu sekilas ia terlihat seperti orang dungu atau bodoh.



BAHRUL ULUM PUNGGING

Supervisi Guru Klas I Bu Anis

MI bahrul ulum