Bhima menemukan jati diri
Dikisahkan, Bhima
disuruh Pandita Drona untuk mencari ‘Kayu Gung Susuhing Angin’ di puncak Gunung
Reksamuka yang terkenal angker, akan tetapi tipu muslihat Shakuni yang
memperalat Pandita Drona tersebut gagal untuk mencelakai Bima. Selanjutnya Bima
diperintah lagi untuk mencari Tirta Perwita Suci di tengah Samudera
Minangkalbu. Walaupun seluruh kerabat Bima mencegahnya dan memberi tahu bahwa
perintah itu adalah bagian dari muslihat Shakuni untuk mencelakainya, namun
karena Drona adalah Guru Bima yang sangat dihormati, maka Bima tetap akan
melaksanakan perintah Gurunya.
Tuhan
adalah “Sangkan Paraning Dumadi”, asal usul dan tujuan akhir makhluk. Leluhur kita
menyebutnya “tan kena kinaya ngapa”,tak dapat disepertikan, Acintya. Perjalanan
manusia menemukan Tuhannya digambarkan seperti perjalanan Bhima, satria Pandawa
mencari Tirta Perwita Suci. Sebelum bertemu dengan Dewaruci, Bhima dalam hutan
belantara dunia harus menaklukkan para raksasa keduniawian, dan di samudera
kehidupan harus mengalahkan naga ganas ego yang membelitnya dengan kuat dan
erat. Dengan kesungguhan hatinya, semua penghalang dapat diatasi dengan kuku
pancanaka, pengendalian panca indera, dan Bhima bertemu dengan Dewaruci, wujud
kembarannya yang kecil. Dewaruci meminta Bhima memasuki dirinya lewat
telinganya. Pada awalnya Bima ragu-ragu, wujud dirinya besar sedang wujud Dewaruci
kecil. Dewa Ruci mengatakan, besar mana antara diri Bhima dengan samudera dan
jagad raya, karena seluruh jagad raya ini bisa masuk ke dalam dirinya.
Leluhur
kita menggambarkan wadag, raga ini sebagai warangka, sarung keris, sedang ruh
kita adalah curiga, kerisnya. Manusia hidup di alam ini disebut curiga manjing
warangka, keris di dalam sarungnya. Setelah manusia sadar atas
ketidaksempurnaan duniawi ini dan dapat melepaskan dari belitan naga ganas
mind-ego dan yakin pada dirinya yang sejati, maka dia dapat memasuki dirinya
yang sejati, seperti Bima yang memasuki Dewaruci. Di dalam diri Dewaruci ini
ternyata sangat luas, alam pun berada pada dirinya. Leluhur kita menggambarkan
peristiwa ini ibarat warangka manjing curiga, sarung keris masuk kedalam keris,
kodok ngemuli lenge, katak menyelimuti liangnya, Manunggaling Kawula Gusti,
bersatunya makhluk dengan Keberadaan. Selama ini manusia diibaratkan golek
banyu apikulan warih, manusia mencari air sedangkan dia sendiri memikul air.
Manusia tidak paham akan jati dirinya.
Kemudian Bhima
diwejang oleh Sang Dewaruci. ”Hai Bhima, hidup ini tidak mudah. Ketahuilah ke
mana arah tujuanmu. Dan bila engkau tidak tahu, bertanyalah kepada orang yang
tahu. Banyak orang yang mengetahui sesuatu hanya karena ia menirukan apa yang
dikatakan orang kepadanya. Demikian pula halnya orang belajar kepada Guru.
Kalau belum tahu siapa sebenarnya sang Guru itu, maka murid akan sesat dalam
menerima ajarannya. Setelah itu Bima diwejang tentang ‘ngelmu sangkan paraning
dumadi’, Inti Ilmu Kehidupan, sehingga Bhima paham siapa sebenarnya yang
memerintah dan siapa yang diperintah dalam diri Bhima sendiri.
Perintah Guru Drona
itu sesungguhnya sanepan, simbolis untuk memahami Ilmu Kehidupan. Kayu Gung
Susuhing Angin, pohon raksasa sarangnya angin di puncak Gunung Reksamuka,
penguasa wajah. Artinya adalah batang hidung, sarang untuk bernapas yang
terletak di wajah manusia sendiri, ‘reksamuka’. Tujuannya agar orang mengetahui
bahwa napas itu adalah pokok hidup manusia. Bila napas berhenti maka itulah
tandanya orang itu sudah mati. Bhima diminta melaksanakan meditasi.
Sedangkan Tirta
Perwita Suci di tengah Samudera Minangkalbu adalah sumber kehidupan yang hanya
bisa dikenali dengan bantuan kalbu. Makna yang disimbolkannya adalah, untuk
mengenal sumber kehidupan hanya bisa dicapai dengan bantuan kalbu atau nurani
kita sendiri.
Bhima sangat
dihormati masyarakat Nusantara, Arca Kunto Bimo bahkan ditempatkan di Candi
Borobudur, Kabupaten Magelang sebagai tanda bahwa Raja pembangun Candi Borobudur
yang beragama Buddha pun menghormati Bhima, idola masyarakat setempat. Arca
Bimo atau Kunto Bimo digambarkan sebagai Bhima duduk bersila dengan sikap
tangan dharmacakramudra. Ini isyarat pergerakan roda dharma. Bhima dalam
perjalanan spiritualnya di Samudera Hindia menemukan jati dirinya setelah
bertemu Dewaruci yang lidahnya berupa Acyntia, Yang Tak Dapat Diserupakan,
kemudian dirinya digambarkan berada di dalam stupa dan telah mencapai
ke-Buddha-an. Setiap ada kunjungan tamu negara, selalu ada acara merogoh stupa
Kunto Bimo. Merogoh Kunto Bimo bahkan dianggap sebagai kepercayaan dalam
tradisi setempat. Jika wanita berhasil menyentuh jempol kaki patung Buddha,
atau pria menyentuh kelingking patung Buddha, maka keinginannya akan terkabul.
Kain poleng Bhima yang juga pernah dipakai Hanuman
rupanya kini sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali.
Makna filosofis saput poleng rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak
belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek,
tinggi-rendah yang melambangkan ketegasan dalam ulah spiritual.
Seorang siswa
spiritual yang baik hendaknya menerima seorang Guru sebagai utusan Gusti.
Sesungguhnya Gusti mewujudkan diri-Nya sebagai seorang Guru demi memberikan
bimbingan spiritual kepada sang murid. Bimbingan seorang Guru yang suci akan
segera dapat meningkatkan kemajuan spiritual sang murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar